Perbarengan
sering disebut juga sebagai Samenloop (Bahasa Belanda) atau Concursus (Bahasa
Latin). Perbarengan adalah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu
orang dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana,
atau antara tindak pidana yang pertama dengan tindak pidana berikutnya belum
dibatasi oleh suatu putusan hakim (Mahrus Ali, 2012 : 134). Ketentuan mengenai
perbarengan pada dasarnya ialah suatu ketentuan mengenai bagaimana cara
menyelesaikan perkara dan menjatuhkan pidana (sistem pemidanaan) (Adami, 2005 :
112).
Dalam
hukum pidana terdapat tiga bentuk perbarengan, yaitu :
1) Perbarengan
aturan (concursus idealis), yaitu suatu perbuatan yang masuk
lebih dari satu aturan pidana;
2) Perbarengan
perbuatan (concursus realis), yaitu beberapa perbuatan yang
masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu tindak pidana;
3) Perbuatan berlanjut
(vorgezette handelings), yaitu beberapa perbuatan (kejahatan atau
pelanggaran) yang antara perbuatan-perbuatan itu terdapat hubungan yang
sedemikian rup, sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan.
Disini penulis hanya akan menjabarkan lebih lanjut mengenai
perbarengan aturan (concursus idealis). Perbarengan
aturan (concursus idealis) adalah suatu perbuatan pidana yang
termasuk dalam beberapa aturan pidana. Mahrus Ali (2012 : 135) mengartikan
Perbarengan aturan (concursus idealis) sebagai seseorang yang
dalam kenyataan sebenarnya hanya melakukan satu perbuatan pidana saja, tetapi
satu perbuatan pidana yang dilakukannya tersebut jika dilihat dari sudut
yuridis ternyata dapat dipandang sama dengan telah melanggar dua atau lebih
aturan hukum pidana.
Penjatuhan pidana pada bentuk concursus idealis ini
dengan menggunakan sistem hisapan (aborsi). Ketika seseorang melakukan
perbuatan pidana yang ternyata perbuatan tersebut dapat dikenakan lebih dari
satu ketentuan pidana, maka pidana yang dapat dikenakan kepada terpidana
perbarengan aturan hanya dipilih satu jenis sanksi pidana yang ada dalam
beberapa aturan hukum pidana yang dianggap telah dilanggar oleh terpidana
tersebut. Sistem pemidanaan inilah yang disebut dengan sistem aborsi.
Pengaturan mengenai concursus idealis ini
tercantum dalam Pasal 63 KUHP. Berdasarkan Pasal 63 KUHP, penjatuhan pidana
dengan sistem hisapan pada perbarengan peraturan ini dapat dikenakan pada 3
(tiga) kemungkinan, yaitu (Adami Chazawi, 2005 : 125) :
1) Pada perbarengan
peraturan dari beberapa tindak pidana dengan ancaman pidana pokok sama berat;
2) Pada perbarengan
peraturan dari beberapa tindak pidana dengan ancaman pidana pokok tidak sama
berat;
3) Pada perbarengan
peraturan dimana satu perbuatan itu diatur dalam aturan umum yang sekaligus
masuk dalam aturan khusus.
Pengaturan mengenai bentuk penjatuhan pidana tersebut
pengaturannya terbagi dalam 2 (dua) pasal, yaitu dalam Pasal Pasal 63 ayat (1)
dan ayat (2) yang akan dijelaskan lebih lanjut dibawah ini.
1) Pasal 63 ayat 1
Pasal 63 ayat (1) berbunyi : “Jika suatu perbuatan masuk
dalam lebih dari sattu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara
aturan-aturan itu; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana
pokok yang paling berat”.
Berdasarkan isi pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam
penjatuhan pidana dalam perbarengan aturan ini terdapat dua macam cara, yaitu
apabila ancaman pidana pokoknya sama atau berbeda-beda. Jadi, ketika seseorang
melakukan suatu perbuatan pidana yang termasuk dalam beberapa aturan pidana
dimana ancaman pidana pokok dalam aturan-aturan tersebut sama, maka yang
dikenakan hanya satu pidana saja, sedangkan jika suatu perbuatan tersebut
diatur dalam beberapa aturan pidana yang ancaman pidana pokoknya berbeda-beda,
maka yang dikenakan adalah pidana yang memuat ancaman pidana pokok yang paling
berat.
2) Pasal 63 ayat (2)
KUHP
Pasal 63 ayat (2) KUHP menyatakan “Jika suatu perbuatan masuk
dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang
khusus, maka yang khusus itulah yang diterapkan”. Ketentuan ini erat kaitannya
dengan asas Lex specialis derogate legi generali yang menyatakan
bahwa hukum yang bersifat khusus dapat mengenyampingkan hukum yang bersifat
umum.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui, bahwa ketika satu
perbuatan diatur dalam aturan umum dan diatur pula dalam aturan khusus dalam
arti secara lebih kusus mengatur prilaku yang sebenarnya terjadi, maka aturan
khusus tersebutlah yang harus diberlalukan dan berlakulah asas Lex specialis
derogate legi generali. Dalam sistem penjatuhan pidananya tidak tergantung pada pidana
pokok yang terberat, dalam aturan khusus ancaman pidananya dapat lebih ringan
ataupun lebih berat dari aturan pidana yang bersifat umum.
Untuk dapat mengatakan bahwa suatu ketentuan pidana itu sebenarnya
merupakan suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, sebenarnya tidak
terdapat suatu kriteria yang dapat dipergunakan sebagai pedoman. Namun, di
dalam doktrin terdapat dua cara memandang suatu ketenuan pidana dapat dikatakan
pidana yang bersifat khusus atau bukan. Cara-cara tersebut adalah (P.A.F
Lamintang, 2013 : 713-714) :
a) Memandang secara
logis, yaitu apabila ketentuan pidana tersebut di samping memuat unsur
unsur-unsur yang lain, juga memuat semua unsur dari suatu ketentuan pidana yang
bersifat umum;
b) Memandang secara
yuridis, suatu ketentuan pidana walaupun tidak memuat semua unsur dari suatu
ketentuan pidana yang bersifat umum, tetap dianggap sebagai suatu ketentuan
pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila dengan jelas dapat diketahui bahwa
pembentuk undang-undang memang bermaksud memberlakukan ketentuan pidana
tersebut sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus.
Sumber :
> Adami Chazawi. 2005. Pelajaran Hukum Pidana 2. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
> Mahrus Ali. 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika
> P.A.F. Lamintang. 2013. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
> Adami Chazawi. 2005. Pelajaran Hukum Pidana 2. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
> Mahrus Ali. 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika
> P.A.F. Lamintang. 2013. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.